Widget HTML #1

Panduan Penulisan Soal HOTS (Higher Order Thinking Skills)

Panduan-Penulisan-Soal-HOTS-(Higher-Order-Thinking-Skills)

Keterampilan berpikir tingkat tinggi atau yang lebih dikenal HOTS (Higher Order Thinking Skills) merupakan topik yang hangat dibicarakan di dunia pendidikan. Isu yang menjadi perhatian adalah rendahnya keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik Indonesia, seperti ditunjukkan hasil studi internasional PISA (Programme for International Student Assessment). 

Padahal keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan salah satu modal individu untuk mempersiapkan diri menghadapi dunia nyata dengan perubahan yang semakin cepat. 

Salah satu usaha yang perlu dilakukan dunia pendidikan untuk menyiapkan peserta didik sebagai generasi penerus bangsa yang dapat bersaing di tingkat global adalah meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik. 

Pusat Penilaian Pendidikan sebagai lembaga penilaian berskala nasional membantu mewujudkannya dengan menyiapkan buku Penulisan Soal HOTS-Higher Order Thinking Skills (Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi). 

Diharapkan dengan adanya panduan ini, pendidik dapat menyusun instrumen penilaian yang berkualitas.

Definisi Berpikir Tingkat Tinggi

Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang terjadi ketika seseorang dihadapkan pada situasi atau suatu permasalahan yang harus diselesaikan. Kegiatan mental atau kegiatan berpikir yang terjadi dapat berbeda-beda tingkatannya tergantung pada situasi atau kompleksitas masalah yang dihadapi. 

Suatu masalah mungkin dapat diselesaikan dengan tingkat berpikir yang lebih rendah seperti mengingat dan memahami. Masalah lain yang lebih kompleks memerlukan keterampilan berpikir yang lebih tinggi, seperti menganalisis dan mengevaluasi. 

Proses berpikir dan klasifikasinya telah banyak dibahas para ahli. Klasifikasi atau taksonomi yang paling dikenal dalam dunia pendidikan ialah Taksonomi Bloom. Taksonomi tersebut digagas oleh Benyamin Bloom dan dipublikasikan bersama koleganya pada tahun 1956. Setelah 40 tahun, Taksonomi tersebut direvisi, terutama oleh Lorin Anderson dan David Krathwol dan dipublikasi tahun 2001. 

Dalam Taksonomi Bloom yang direvisi tersebut, dirumuskan 6 level proses berpikir, yaitu mengingat (remembering), memahami (understanding), menerapkan (applying), menganalisis (analyzing), mengevaluasi (evaluating), dan mengkreasi (creating)

Selain menganalisis, mengevaluasi dan mengkreasi dari Taxonomi Bloom tersebut, dikenal juga istilah lain untuk menunjukkan proses berpikir tingkat tinggi seperti judgement dan berpikir kritis, menyelesaikan masalah, kreativitas dan berpikir kreatif. 

Dalam tataran operasional, proses berpikir tersebut seringkali overlap. Sebagai contoh ketika mengkreasi, berpikir kritis dan berpikir kreatif juga terlibat. Demikian pula ketika menyelesaikan masalah, analisis, evaluasi, berpikir kreatif juga dapat terlibat. 

Sebagian istilah yang berbeda juga bermakna hampir sama misalnya antara judgment dan mengevaluasi. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, berpikir tingkat tinggi dapat ditunjukkan ketika individu menerapkan pengetahuan dan keterampilan ke konteks yang baru atau cara yang lebih kompleks (transfer). 

Transfer dapat dilakukan karena adanya retensi, yaitu menyimpan atau mengingat apa yang telah dipelajari. Hal ini menunjukkan berpikir tingkat tinggi tidak dapat lepas dari berpikir tingkat rendah. Berpikir tingkat rendah merupakan landasan untuk berpikir tingkat tinggi.

Bagaimana Menilai Berpikir Tingkat Tinggi?

Seperti halnya dalam penyusunan instrumen penilaian secara umum, penyusunan
penilaian keterampilan berpikir tingkat tinggi juga melibatkan 3 (tiga) hal prinsip, yaitu sebagai berikut: 

  1. Menentukan secara jelas apa yang akan dinilai; 
  2. Menyusun tugas atau soal tes; dan 
  3. Menentukan kriteria penguasaan hal yang dinilai.

Dalam penyusunan penilaian berpikir tingkat tinggi, terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan yaitu sebagai berikut: 

  1. Menggunakan stimulus ; 
  2. Menggunakan konteks yang baru; dan 
  3. Membedakan antara tingkat kesulitan dan kompleksitas proses berpikir.

Prinsip Penyusunan Instrumen Penilaian Secara Umum

Menentukan secara jelas apa yang akan dinilai

Dalam menyusun instrumen, tidak cukup hanya menentukan topik atau materi yang akan dinilai, perlu juga ditentukan lebih spesifik proses berpikir apa yang akan dinilai untuk materi tertentu. 

Sebagai contoh untuk IPA, kemampuan untuk mengelompokkan tumbuhan berdasarkan ciri-ciri hasil pengamatan/ciri-ciri yang disajikan berbeda dengan kemampuan untuk menentukan ciri-ciri tumbuhan tertentu. 

Pada hal yang kedua proses berpikir yang dituntut hanya mengingat ciri dari suatu tumbuhan, sedangkan pada hal yang pertama, mengingat ciri-ciri dari tumbuhan tertentu saja tidak cukup, peserta didik perlu mengidentifikasi karakteristik pada beberapa tumbuhan yang disajikan. 

Demikian pula pada bahasa, misalnya untuk materi puisi, perlu ditentukan apakah yang dinilai kemampuan menginterpretasi puisi ataukah menulis puisi.

Menyusun tugas atau soal tes yang harus dikerjakan

Tugas yang dirancang hendaknya sejalan dengan materi dan proses berpikir yang akan dinilai. Sebagai contoh, jika yang akan dinilai adalah kemampuan menginterpretasi puisi, namun tugas yang diberikan meminta peserta didik mengidentifikasi rima atau menulis puisi maka tugas tersebut tidak sesuai meskipun tugas menulis puisi menuntut proses berpikir tingkat tinggi. 

Menentukan kriteria penguasaan hal yang dinilai dari hasil pelaksanan tugas atau tes

Setelah menentukan tugas, pendidik perlu menentukan bukti apa yang akan digunakan untuk menunjukkan peserta didik telah mencapai atau belum mencapai target. 

Dalam penilaian formatif, pendidik perlu menginterpretasi hasil kerja peserta didik dan memberikan umpan balik sejauh mana capaiannya, apa yang harus dilakukan. 

Dalam penilaian sumatif untuk pemberian nilai, pendidik perlu menyusun pedoman untuk menskor hasi kerja peserta didik, sehingga capaian skor memberi informasi yang bermakna. 

Prinsip Penyusunan Instrumen Penilaian Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Menggunakan stimulus 

Stimulus dapat berupa teks, gambar, skenario, tabel, grafik, wacana, dialog, video, atau masalah. Stimulus berfungsi sebagai media bagi peserta didik untuk berpikir. Tanpa adanya stimulus, soal cenderung menanyakan atau menilai ingatan.

Stimulus yang digunakan hendaknya yang positif, dalam arti tidak menimbulkan efek negatif misalnya menyudutkan kelompok tertentu, atau memberikan penguatan untuk perilaku negatif. Bila memungkinkan stimulus yang digunakan hendaknya edukatif, memberi wawasan, pesan moral dan inspirasi kepada peserta. 

Sebagai contoh, teks atau grafik yang menunjukkan besarnya jumlah makanan tersisa dari suatu restoran atau dari suatu pesta dapat memberikan wawasan dan pesan kepada peserta tentang penghamburan makanan yang seharusnya tidak terjadi. 

Menggunakan konteks yang baru

Konteks yang baru yang dimaksud adalah konteks soal secara keseluruhan, dapat
berupa materi atau rumusan soal. Agar dapat berfungsi sebagai alat yang mengukur berpikir tingkat tinggi, soal hendaknya tidak dapat dijawab hanya dengan mengandalkan ingatan. 

Bila suatu konteks soal sudah familiar karena sudah dibahas di kelas atau merupakan pengetahuan umum, dalam menjawab peserta didik tidak lagi berpikir tetapi hanya mengingat. 

Sebagai contoh, soal yang meminta peserta didik untuk mengkritisi karya penulis A berdasarkan aspek atau sudut pandang tertentu merupakan soal yang tampaknya mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi. 

Namun karena di kelas atau di buku pelajaran hal tersebut telah kerap dibahas maka sebenarnya untuk dapat menjawab soal tersebut, peserta didik tidak perlu berpikir kritis, melainkan cukup mengingat. 

Soal dengan konteks yang baru dan belum pernah dibahas sebelumnya, menuntut peserta didik tidak hanya menjawab dengan mengingat tetapi menuntut keterampilan berpikir tingkat tinggi karena mengkritisi karya tersebut. 

Membedakan tingkat kesulitan dan kompleksitas proses berpikir

Tingkat kesulitan dan proses berpikir merupakan dua hal yang berbeda. Soal yang
mengukur ingatan dapat mudah dan dapat juga sulit, demikian pula soal yang mengukur berpikir tingkat tinggi juga dapat mudah dan dapat sulit, tergantung pada kompleksitas pertanyaan atau tugas.

Langkah Penulisan Soal Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Menentukan kompetensi dasar dan materi yang akan dinilai

Pendidik harus menganalisis proses kognitif, dimensi pengetahuan, dan materi pada kompetensi dasar dalam kurikulum yang memungkinkan dapat dibuatkan soal keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Menyusun kisi-kisi

Pendidik harus memastikan seluruh komponen yang terdapat dalam kisi-kisi konsisten, selaras, dan dapat dibuatkan soal keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Merumuskan indikator soal

Untuk menghasilkan soal yang mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi, rumusan indikator perlu memenuhi prinsip penilaian pada keterampilan ini yaitu perlunya stimulus, konteks baru, dan proses berpikir tingkat tinggi.

Konteks stimulus disarankan berkenaan dengan kehidupan nyata sehari-hari dan sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Stimulus yang kontekstual akan memudahkan peserta didik untuk mentransfer hal-hal yang telah dipelajari sehingga timbul sikap positif dan mengapreasiasi hal-hal yang telah dipelajari. 

Stimulus dengan konteks yang tidak sesuai dengan perkembangan peserta didik akan sulit dicerna sehingga tidak mendukung berkembangnya keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Menulis soal sesuai dengan kaidah penulisan soal

Untuk memastikan kualitas soal sehingga memberi informasi yang valid, soal perlu memenuhi kaidah penulisan soal dari aspek konstruksi, substansi, dan bahasa.

Prinsip ini sama dengan prinsip penulisan soal secara umum (kaidah penulisan soal dan contoh-contoh soal level 1, 2, dan 3 bisa dilihat pada buku Panduan Tes Tertulis.

Aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah isu sensitif. Soal hendaknya tidak menyinggung suku, agama, ras, antargolongan, dan tidak mengandung unsur pornografi, politik praktis, kekerasan, dan komersialisasi produk.

Kesimpulan

Peserta didik perlu disiapkan untuk menghadapi dunia yang penuh tantangan dan semakin kompleks. Salah satu solusi yang dapat dilakukan pada peserta didik adalah meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi atau HOTS (Higher Order Thinking Skills). 

Pembelajaran dan penilaian yang diterapkan di dalam kelas hendaknya memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menggunakan dan mengasah keterampilan berpikir tingkat tinggi tersebut. 

Dengan pembelajaran dan penilaian berbasis HOTS, peserta didik akan terbiasa menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam kehidupan sehari-hari.

Semoga panduan ini dapat membantu guru dalam menyiapkan penilaian yang berkualitas khususnya HOTS sehingga keterampilan berpikir tingkat tinggi anak Indonesia berkembang optimal. 

Untuk panduan selengkapnya dan contoh soal-soal HOTS dapat dilihat di bawah ini:

Panduan Penulisan Soal HOTS

Terimakasih.

Salam Literasi! 

Post a Comment for "Panduan Penulisan Soal HOTS (Higher Order Thinking Skills)"